Pada kesempatan 21/12/2017 saya sebagai generasi kecil dari leluhur balimerindu pada pelajaran keilmuan leluhur, cerita mereka ,perjuangan mereka mewariskan jalan yang dikagumi dunia karena budaya yang adi luhung, mungkin jarang dari generasi kita sekarang yang mendengar kejadian kejadian dimasa lalu tentang sejarah lahirnya apa yang kita warisi sekarang , sejarah PESAMUAN TIGA banyak menceritakan pada kita , tentang sejarah keilmua, yang boleh dipelajari atau tidak oleh pertisentanan para leluhur kita. yang berminat membaca dan mau mendownload fail kecil ini silahkan klik dibawah
SAMUAN TIGA
|
Menurut
sejarah, di pulau Bali sekitar tahun 923 saka atau 1001 masehi, yang menjadi
raja di zaman itu ialah Prabu Udayana. Prabu Udayana Warmadewa memerintah di
Bali Dwipa didampingi oleh permaisuri yang bernama Mahendradatha, adik dari
raja Medang Kemulan di Jawa Timur yang bernama raja Dharmawangsa. Sedangkan
Prabu Udayana naik tahta di Bali Tahun 989 masehi – 1010 masehi, menggantikan
raja Sri Wijaya Maha Dewi yang berkuasa disekitar tahun 957 masehi – 989
masehi.
Pusat pemerintahan Prabu Udayana bertempat di Pejeng, yaitu sebuah
daratan yang sangat subur dengan panoramanya yang sangat indah. Prabu Udayana
Warmadewa adalah seorang raja yang paling popular dari rangkaian raja-raja yang
pernah memerintah di Bali, hal itu kita bisa buktikan melalui banyaknya
prasasti-prasasti peninggalan di zaman beliau.
Dari
peristiwa-peristiwa penting yang terjadi di zaman pemerintahan beliau ialah
tentang perkembangan kehidupan beragama di Bali. Beliau sangat terkenal taat
beragama. Beliau tidak pernah melupakan atau mengurangi bhaktinya kepada Ida
Sanghyang Widdhi Wasa, selain sangat taat memuja para kawitan leluhurnya, serta
menganggap bahwa rakyatnya adalah bagian dari keluarganya.
Akibat membaurnya
beliau dengan rakyat maka beliau sangat dihormati oleh rakyat. Kehidupan di
zaman itu sangat tentram dan tidak ada kurang suatu apapun. Rakyat hidup serba
berkecukupan.Tetapi
walaupun di dalam pemerintahan berjalan adil dan semua rakyat merasakan
kebahagiaan hidup, tetapi bagi Prabu Udayana ada sesuatu yang mengganjal di
dalam pikirannya. Peristiwa yang selalu mengganggu ketenangannya itu adalah
tentang perkembangan agama di Bali.
Walaupun sebenarnya ajaran agama akan
mendatangkan kebahagiaan rohani, tetapi kalau salah pemahamannya pasti akan
mendatangkan kesengsaraan. Demikianlah di zaman pemerintahan beliau di Bali
berkembang banyak aliran agama, yang satu sama lain memiliki pengikut yang
berimbang. Menurut catatan sekta-sekta atau paksa di Bali di zaman pemerintahan
beliau tercatat ada tidak kurang dari 16 sekta agama yang berkembang sangat
cepat di Bali.
Dari
16 sekta yang ada, waktu itu tercatat 6 kelompok sekta yang besar, antara lain
: Sekta Waisnawa, Sekta Brahma, Sekta Siwa, Sekta Bhairawa, Buddha Mahayana,
Sekta Pasupatya. Sekta-sekta yang lainnya yaitu : Sekta Ganaspatya, Sekta
Pertapa, Sekta Rudra, Sekta Sambu, Sekta Sora, Sekta Siwa Sangkara, Buddha
Bantrisma, Sekta Siddhanta, Buddha Hinayana, Sekta Para Rsi.
Dari
banyak aliran yang ada sering terjadi perselisihan dari para pengikut
sekta-sekta itu, karena suatu hal. Akibatnya semakin lama kurang tentram kehidupan
beragama di Bali. Kejadian seperti ini juga mempengaruhi kehidupan rakyat
sehari-hari di Bali Dwipa. Hal ini membuat Sang Prabu Udayana menjadi khawatir,
karena semakin hjari perselisihan diantara aliran semakin menjadi-jadi. Para
tokoh agama semakin sulit dikendalikan, karena masing-masing memiliki pengikut
yang seimbang kekuatannya.
Untuk
mengatasi sesuatu yang tidak diinginkan yang mungkin saja terjadi, Prabu
Udayana meminta para Bhagawanta kerajaan untuk berkumpul guna membahas
perkembangan agama yang kurang menguntungkan. Waktu itu yang menjadi pemuka
Bhagawanta di kerajaan Bali Dwipa adalah Mpu Gni Jaya, Mpu Semeru, Mpu Gana.
Ketiga tokoh suci ini membahas permasalahan keberadaan dari seluruh sekta-sekta
atau aliran yang ada di Bali, serta meneliti prinsip-prnsip dasar ajaran yang
melandasi dari masing-masing sekta itu.
Tidak dijelaskan entah berapa lama sang
para Maha Rsi sudah mengadakan penelitian, maka akhirnya ketiga tokoh suci itu
melaporkan hasil penelitiannya kepada Sri Baginda Maha Raja Prabu Udayana
Warmadewa.Di dalam persidangan para tokoh tertua dari ketiga Maha Rsi itu,
menjelaskan tentang ajaran-ajaran yang dianut oleh :
- Sekta Pasupatya yang mengutamakan
pemujaan kepada Dewa Matahari atau Dewa Surya sebagai manefestasi Tuhan Yang Maha
Esa atau Hyang Widdhi. Dan inti dari pemujaan dari sekta Pasupatya di sebut “
Puja Sura Sewana “
- Sekta Waisnawa yang merupakan aliran
tertua di Bali, ajarannya memuliakan Dewa Wisnu sebagai manefestasi Tuhan atau
Hyang Widdhi Wasa. Dan pelaksanaan upacaranya selalu melibatkan Dewa Wisnu dan
Dewi Sri sebagai symbol. Itulah sebabnya setiap akan ada panen padi di sawah,
selalu di dahului dengan upacara suci ditujukan kepada Dewi Padi atau Dewi Sri,
di Bali upacara semacam itu di sebut “ Upacara Mebiya Kukung “.
- Sekta Brahma, aliran kepercayaan ini
memuliakan Dewa Brahma sebagai manefestasi Tuhan Yang Maha Esa atau Hyang
Widdhi Wasa. Upacara persembahannya selalu berwarna merah, dan tatakannya
disebut daksina dan pemujaannya selalu menghadap keselatan.
- Sekta Bhairawa, aliran kepercayaan ini
memuliakan Durga Dewi sebagai manefestasi Tuhan atau Hyang Widdhi Wasa. Para
pengikutnya kebanyakan mempelajari ilmu hitam. Pustakanya disebut “ Newerthi
“.Upacara persembahannya serba mentah, darah mentah, daging mentah dan yang
berbau busuk. Persembahan sejenis ini lazim disebut “ Caru “.
Dizaman
pemerintahan Kesari Warmadewa di Bali yang berkuasa disekitar tahun 837 masehi,
aliran ini sudah dilarang untuk diajarkan, karena penganutnya sering membuat
keonaran, misalnya suka membuat penyakit, membuat guna-guna, membuat bebai,
yaitu sejenis penyakit yang bisa dikendalikan dengan perintah-perntah gaib. Di
zaman Kesari Warmadewa ada sebuah prasasti dikeluarkan tentang larangan sekta
Bhairawa, dan menjatuhkan hukuman sangat berat kepada mereka yang ketahuan
menganut aliran ini, sampai dihukum mati tujuh turunan.
Dan seluruh keluarganya
dikenai sangsi yang sangat berat dan dikucilkan dari masyarakat. Sebagai
peringatan atas larangan mengikuti aliran Bhairawa itu, maka dari sejak itu
Raja Kesari Warmadewa memerintahkan untuk menyelenggarakan peringatan tentang
wafatnya tokoh sakti Bhairawa di zaman itu yang bergelar “ Ki Maya Danawa “.
Upacara peringatan itu disebut “Hari Galungan”. Maksud utamanya mengingatkan
kepada masyarakat bahwa aliran Bhairawa sangat terlarang karena membahayakan
kehidupan umat manusia.
Demikianlah
selanjutnya telah dijelaskan oleh Maha Mpu Gni Jaya tentang prinsip dasar
ajaran masing-masing sekta, diperkuat oleh penjelasan dari Mpu Gana dan Mpu
Semeru, kepada Maha Raja Udayana Warmadewa dan beliau dapat memahami sebenarnya
apa yang menyebabkan sehingga belakangan ini sering terjadi perselisihan di
desa-desa yang awalnya tentram. Sang Prabu meminta pertimbangan kepada Maha Rsi
yang hadir waktu itu, bagaimana caranya mengatasi para tokoh sekta-sekta itu
agar bisa tercipta kehidupan yang tenang dan damai.
Menanggapi
kesan yang sangat serius dari Sang Maha Raja Prabu Udayana, alu Maha Rsi Mpu
Gni Jaya, Mpu Gana, Mpu Semeru, menyarankan agar sang prabu berkenan
mendatangkan dua tokoh sakti lagi dari kerajaan Medang Kemulan di Jawa. Beliau
itu adalah Mpu Baradah dan Mpu Kuturan, yang keduanya masih adik dari Maha Rsi
Mpu Gni Jaya, Mpu Semeru dan Mpu Gana. Saran-saran yang baik ini lalu diterima
sepenuhnya olh sang prabu Udayana Warmadewa, dan segera mengirim utusan ke Jawa
dan menghadap raja Medang Kemulan di Jawa yang sebenarnya beliau itu masih satu
keluarga, karena sang Permaisuri yang bernama Mahendradatha adalah adik dari
Prabu Dharmawangsa, raja Medang Kemulan.
Tidak
dijelaskan bagaimana perjalanan sang utusan, maka pada waktu itu sudah memasuki
perioda tahun 923 saka atau tahun 1001 masehi, maka sampailah di Bali kedua
tokoh sakti itu, yaitu : Mpu Kuturan dan Mpu Baradah, kemudian bergabung dengan
ketiga saudaranya, yaitu, Mpu Gni Jaya, yang berpasraman di Lempuyang, Mpu
Semeru yang berpasraman di Besakih. Mpu Gana yang berpasraman di Dasar Bhuwana
Gelgel.
Selanjutnya
kelima tokoh-tokoh suci itu telah menghadap sang Maha Raja Prabu Udayana
Warmadewa, serta mendengarkan dengan seksama wejangan-wejangan dari sang prabu,
yang menyampaikan keluh kesahnya sekitar perkembangan agana di Bali yang kurang
baik. Sang Prabu meminta kepada para Maha Rsi lima bersaudara itu, untuk
membahas dengan teliti dan seksama tentang sekta-sekta yang ada di Bali serta
mencarikan jalan keluarnya agar masing-masing dari mereka mendapat perhargaan
yang sama dan adil. Sehingga dengan demikian tidak ada yang merasa dirugikan.
Disamping
itu sang prabu memberikan saran agar dalam waktu yang tidak terlalu lama agar
seluruh sekta-sekta bisa dikumpulkan untuk diajak berunding guna mendapatkan
masukan, guna memutuskan sesuatu yang bisa diterima oleh masing-masing aliran.
Karena menyangkut masalah rohani maka segala cara dan pelaksanaannya, sang
prabu mempercayakan kepada Sang Rsi lima bersaudara yang belakangan akan lebih
dikenal dengan sebutan “ Panca Rsi atau Panca Pendeta “.
Setelah
Panca Pendeta menerima mandate dari sang Maha Raja Prabu Udayana, selanjutnya
membuat persiapan, terutama sekali mengadakan penelitian tentang unsur-unsur
ajaran dasar masing-masing sekta. Adapun kunci dasar dari sekta-sekta yang ada
itu meliputi sumber ajaran weda apakah yang mendasari ajaran sekta tersebut.
Kemudian memilah-milah sastra dan kesusastraannya, meneliti tentang kurban suci
yang dilaksanakan, dan simbul-simbul korban suci, serta Dewa apakah yang
dimuliakan sebagai alat perwujudan persembahan itu.
Beliau
mengadakan pendataan para pengikut masing-masing sekta sehingga dengan demikian
beliauakan memiliki gambaran tentang situasi dan kondisi masing-masing sekta.
Untuk memperlancar jalannya semua rencana itu semua para tokoh ikut dilibatkan
dan menjadikan para tokoh-tokoh sekta itu sebagai sahabatnya. Sehingga dalam
waktu yang relative singkat semua keperluan materi yang beliau butuhkan sudah
dapat dikumpulkan dan dirumuskan menjadi sebuah kesimpulan yang akan
diketengahkan kelak kalau sudah sampai pada waktunya.
Setiap ada perkembangan
Sang Panca Pendeta selalu melaporkan kepada sang Prabu Udayana, sehingga dengan
demikian beliau dapat memahami sebenarnya apa yang terjadi di dalam
perselisihan para sekta-sekta itu. Atas dasar penelitian dari sang Panca Pendeta
maka dapat ditarik kesimpulan bahwa sebenarnya semua dasar ajaran dari semua
aliran itu bersumber dari ajaran yang sama. Tetapi karena pemimpin sekta-sekta
itu menafsirkannya lain, maka akan berbeda pula hasilnya.
Tidak dijelaskan entah
berapa lama Sang panca Pendeta mengadakan penelitian, akhirnya beliau berhasil
membuat rumusan-rumusan yang akan menjadi bahan dasar di dalam pertemuan para
tokoh agama yang akan diadakan atau diselenggarakan oleh pihak kerajaan.
Demikian hasil-hasil rumusan ini diserahkan kepada sang prabu Udayana Warmadewa
guna diperiksa dan disempurnakan. Setelah melalui pengkajian yang sangat ketat
maka diputuskan bahwa materi rumusan itu sudah jelas dan adil.
Selanjutnya
tinggal menunggu hari baik untuk diadakan pesamuhan. Tepat pada hari yang baik,
sang Prabu Udayana Warmadewa mengundang seluruh pemimpin sekta untuk datang ke
pasamuhan agung, yang akan diselenggarakan oleh kerajaan.
Karena undangan itu atas nama sang Prabu Udayana Warmadewa, sehingga dengan
demikian tidak seorangpun yang berani tidak datang.Waktu itu bulan kedasa tahun
saka 923 atau bulan april 1001 masehi. Bumi Pejeng pusat kerajaan sudah
dipenuhi dengan para undangan yang berasal dari seluruh pelosok Bali Dwipa.
Dilihat dari cara mereka menggenakan pakaiannya, orang dapat menebak dari sekta
apakah mereka berasal.Sekta Waisnawa yang memuliakan Dewa Wisnu sebagai
manefestasi Tuhan, mereka menggenakan pakaian serba hitam-hitam. Sekta
Pasupatya yang memuliakan Dewa Matahari sebagai manefestasi Tuhan, semuanya
memakai pakaian serba putih-putih. Sekta Brahma yang memuliakan Dewa Api
sebagai manefestasi Tuhan, mereka memakai pakaian berwarna merah. Selain itu
terlihat kelompok yang seluruhnya memakai pakaian berwana kuning, ada yang
berpakaian poleng-poleng (kain berwarna hitam putih kotak-kotak), ada nyang
berpakaian serba ungu, ada yang berpakaian serba biru dan lain sebagainya.
Dapat dibayangkan betapa meriahnya suasana pada waktu itu, dipenuhi oleh
orang-orang yang berpakaian warna-warni.
Yang
paling mencolok penampilannya, Nampak serombongan peserta memakai pakaian kain
poleng-poleng, memakai jubah poleng bercorak lebar, ditangan kiri memegang
seuntai japamala dengan 108 biji rudraksa. Tangan kanan memegang sebuah tongkat
memakai mahkota dari tengkorak manusia. Tubuh yang rata-rata gempal, berperut
buncit berselempangkan rudraksa besar berwarna-warni dan diselingi tengkorak
manusia sebagai hiasan utama, sebagai tanda pengenal dari aliran tersebut.
Dilihat dari penampilannya semua orang sudah tahu bahwa yang datang itu pasti berasal
dari aliran sekta Bhairawa.
Seperti yang telah dijelaskan, bahwa sekta ini
kebiasaannya makan daging mentah seperti komoh atau adonan yang sejenis lawar
dan dicampur darah mentah. kebiasaannya minum tuak atau arak. Itulah jenis
makanan sang pengikut aliran Bhairawa, tetapi bagi aliran lain ada yang tidak
boleh memakan daging atau minum tuak atau arak.Dasar ajaran Bhairawa berbasis “
Newerti atau mempelajari Aji Wegig “, seperti mempelajari guna-guna, membuat
penyakit, membuat cetik atau racun, membuat bebai sejenis penyakit yang
dikendalikan oleh si pembuat dan sejenisnya.
Sedangkan pemujaannya, selalu
ditujukan kepada Dewi Durga dan berguru kepada setan, jin, gamang, wong samar,
tonya, memedi, dan sejenisnya. hasil dari perguruan semacam ini akan disebut
ilmu pengleakan, teluh, trangjana, pengiwan, penestian. Karena pengaruh dari
ajaran ini menyebabkan pengikutnya kebanyakan berhati curang, iri hati, dendam,
congkak dan momo atau serakah.
Pengikut
aliran Bhairawa sudah tampak dimana-mana, karena aliran ini merupakan aliran
yang sangat cepat berkembang, dengan pengikut yang boleh dikatakan seimbang
dari kelompok sekta besar lainnya. Tingkah lakunya memang Nampak aneh-aneh,
kadang-kadang membuat gara-gara untuk memancing keributan, tujuan untuk menarik
perhatian orang.
Kadang-kadang mereka dengan sengaja memamerkan kekuatan
gaibnya, tidak ubahnya seperti tukang obat yang sedang memamerkan sebuah sulap
agar penonton datang menyaksikan keahliannya itu. Dari kerut wajahnya bagi
orang-orang ahli kerohanian sudah dapat menduga , bahwa mereka itu sudah
mempelajari ilmu hitam, bagian dari ajaran sekta Bhairawa. Juga dari
perilakunya, karena sekta ini kebanyakan berperilaku usil, sangat jauh dari
ajaran-ajaran kerohanian lainnya uang lebih mengutamakan dharma, kasih sayang
dan cinta kasih untuk mendekatkan diri dengan Tuhan.
Perilaku
orang-orang aliran Bhairawa waktu itu, yang sering memamerkan kehebatannya di
hadapan khalayak ramai, didengar oleh Sang Panca Pendeta. Pada awalnya Mpu Gni
Jaya, Mpu Semeru, Mpu Gana, Mpu Kuturan dan Mpu Baradah agak terheran-heran
mendengar berita tersebut. Kenapa demikian ?. Karena aliran Bhairawa pernah
dilarang di Bali, tetapi kenyataannya pada waktu itu masih banyak pengikutnya,
malahan boleh dikatakan jumlah pengikutnya hampir seimbang dengan pengikut
sekta besar lainnya yang sudah sangat terkenal di Bali, seperti sekta Waisnawa
yang sudah kesohor dari zaman ke zaman di Bali, dibuktikan dengan jabatan
Bhagawanta dikerajaan selalu dipegang oleh pendeta aliran Waisnawa.
Sang
Panca Pendeta ( panca pandita ) itu adalah orang-orang yang sakti, jadi beliau
tidak begitu terpengaruh dari apa yang dilaporkan oleh petugas-petugas istana
yang memang bertugas dalam menerima tamu. Tetapi karena beliau sudah amat
menguasai tentang dunia kerohanian tingkat tinggi, beliau memang sudah merasa
bahwa ada kekuatan-kekuatan lain yang sering mencobanya sebagai peringatan.
Memang tanda-tanda semacam gaib itu benar-benar ada, karena dari sejak
rombongan sekta Bhairawa ini memasuki kerajaan, banyak hal-hal yang aneh-aneh
terjadi, seperti : ada penduduk yang sakit mendadak, sakit kepala kosong, sakit
perut melilit-lilit tanpa sebab, sakit mula-mual dan lain sebagainya. Tetapi
walaupun timbul penyakit-penyakit aneh semacam itu, hal itu tidaklah mengkhawatirkan,
karena hanya merupakan pertanda saja, si penduduk yang sakit, sakitnya tidak
begitu berat, karena setelah diberikan penawar oleh pengikut-pengikut Bhairawa,
sebentar saja sudah sehat kembali.
Kejadian
semacam itu, walaupun Sang Panca Pandita sudah dapat mengantisipasinya, tetapi
masih ada kekhawatiran, siapa tahu nanti di dalam pesamuan mereka membuat ulah
sehingga pesamuan menjadi tidak aman. untuk itu Maha Rsi Mpu Kuturan salah
seorang dari Pendeta lima bersaudara itu mengadakan pembagian tugas untuk
menghadapi segala kemungkinan bisa terjadi, yang disebabkan datang dari
serangan gaib dari aliran Bhairawa atau aliran-aliran lain yang ada, yang ingin
membuat tidak baik sehingga pesamuan itu menjadi tidak berhasilo.
Semua
kemungkinan itu bisa terjadi karena mereka mmanusia yang masih dikuasai oleh
sifat-sifat angkara murka, iri hati, momo dan dendam yang telah memakai topeng
agama sebagai alat kebenaran.
Dengan
membaca situasi semacam itu, sehari sebelum pesamuan agung itu dilaksanakan,
Sang Panca Pandita sudah menyiapkan sesajen untuk kurban suci, yang akan
dipersembahkan di Pura Kerajaan guna memohon kedamaian dan kesejahteraan, agar
segala rencana di dalam pesamuan agung nanti bisa berjalan lancer dan tidak ada
gangguan apa-apa. Semua keperluan persembahyangan disiapkan oleh para
Dharmadyaksa Kerajaan seperti antara lain : Dharmadyaksa Kesiwan, yaitu
pimpinan agama dari aliran hindu seperti, Brahma, Wisnu, Siwa.
Dan
dari Dharmadyaksa Kasogatan, yaitu pemimpin agama yang menganut agama Buddha.
Juga Sang Pemegat, yaitu pelaksana upacara sudah siap untuk membantu.Tepat pada
hari memasuki hari tengah malam, sehari sebelum acara pasamuan agung
diselenggarakan, Sang Panca Pandita sudah siap di Pura Kerajaan guna memulai
melaksanakan persembahyangan gaib. Masing-masing Sang Pandita lima bersaudara
akan menggelar japa mantra siddhi seperti, antara lain :
- Maha Rsi Mpu Gni Jaya mengucapkan Aji
Japa mantra “ Pengingkup Bhumi “, mengandung kekuatan gaib untuk mempersatukan
sifat karakter yang baik dan yang buruk agar bersatu menjadi dharma utamaning
hati.
- Maha Rsi Mpu Semeru mengucapkan mantra
“ Aji Kinasihan “, mengandung kekuatan gaib agar semua manusia yang memiliki
watak tidak baik terusir dan menjadi welas asih dan penyayang.
- Maha Rsi Mpu Kuturan mengucapkan Aji
Japa Mantra “Aji Nyusup “, mengandung kekuatan gaib, membuat hati orang-orang
serakah menjadi nurut dan hormat.
- Maha Rsi Mpu Gana mengucapkan Aji Japa
mantra “ Aji Panca Bayu “, mengandung kekuatan gaib mengusir kekuatan jahat
yang pada saat itu sudah menguasai alam sekitar, yang telah digelar sebelumnya
oleh aliran-aliran sesat.
- Maha Rsi Mpu Baradah melepaskan jimat
sakti “ Ageniwerecana, Pasupatirencana, jimat Sudamala “, mengandung kekuatan
gaib menghapuskan kekuatan mejik, baik pepasangan dan acep-acepan.
Kelima
Sang Maha Rsi menempati posisi anyatur dan seorang Rsi menjadi pancer bhumi
akan menggerakkan seluruh kekuatan sakti untruk menolak semua kekuatan
unsur-unsur jahat digiring kepada asalnya. Cara ini dilakukan sejak matahari
mulai memasuki perut bhumi. Tanda-tanda sudah mulai Nampak . Udara di sekitar
sudah berubah menjadi panas, dingin, seperti tidak normal. Segumpal awan hitam
mulai menutupi angkasa membentuk gambar-gambar aneh yang hanya bisa di baca
oleh orang-orang yang memiliki ilmu kesaktian tingkat tinggi.
Tetapi bagi Sang
Panca Pandita tanda-tanda semacam itu sudah dapat dimaklumi, bahwa tanda-tanda
seperti itu merupakan sebuah peringatan bahwa yang bersangkutan jangan dianggap
enteng. Karena itulah Sang Panca Pandita telah menyiapkan diri untuk menghadapi
segala kemungkinan yang akan terjadi, karena beliau sudah memaklumi bahwa
cukupbanyak dari pimpinan aliran itu tidak senang atas kehadiran orang lain
yang dianggap sebagai pengganggu kebebasannya.
Semakin
malam suasana semakin mencekam, diangkasa permainan sudah terjadi. Sesekali
sebuah bola api berwarna merah darah melesat lewat dengan cepat, kemudian
dikejar oleh sebuah bola api berwarna biru cerah, kemudian bertabrakan
menimbulkan percikan-percikan bunga api, setelah itu menghilang tidak ketahuan
arahnya. Itulah salah satu kekuatan gaib yang telah dilepas oleh seorang sakti
dari aliran ilmu hitam yang di dalam kesusastraannya disebut “ Agni Kala
Inja-Inja “, kekuatannya sangat dasyat.
Tak
lama terdengar suara keras melengking, seperti suara burung rajawali marah,
terbang cepat diudara kemudian menghilang dikegelapan malam. Itulah sebuah ilmu
jadi-jadian yang disebut “ Garuda berbulu emas “, yang sangat sakti, menduduki
ilmu tingkat tinggi dikelasnya. Dijalan, di lorong-lorong rumah penduduk
terdengar suara, dur…. dur….. dur….. menggetarkan dinding rumah, seperti
raksasa yang sedang melangkah dengan kaki berat dan besar. Tanda-tanda seperti
ini disebut ilmu hitam “ Nyek Pupu “.
Suasana
malam semakin mencekam, apalagi lampu penerangan yang terbuat dari lampu minyak
kelapa sudah semuanya mati karena hari sudah mendekati tengah malam. Rakyat
biasanya tidak berani keluar rumah, apalagi jalan-jalan, mereka tinggal di
dalam rumah saja sudah merasa ketakutan. Seluruh bulu roma sudah berdiri
merinding, keringat dingin mengalir dari sekujur tubuh karena menahan rasa
takut yang tidak kepalang. Semua penduduk tinggal didalam rumahnya
masing-masing, sambil membisu, karena pikirannya sudah dibawa pergi oleh rasa
takut yang berlebihan. Situasi semakin mencekam disebabkan oleh lolong anjing
yang mendayu-dayu sedih menghiris, seolah-olah sang anjing pun ikut merasakan
ketakutan yang amat sangat. Waktu itu benar-benar suasana sangat sepi.
Sang
Panca Pandita sangat memaklumi keadaan, bahwa beliau sudah mulai dicoba dengan
ilmu hitam dari para peserta pasamuan yang berhati dengki. Untuk itu beliau
mulai meningkatkan kekuatan batinnya, dengan mengucapkan japa mantra
puji-pujian, memuliakan sang Pencipta memohon kekuatan agar semua kekuatan
jahat sirna dari muka bhumi.Kelima Pandita sakti itu sudah berada diposisi
masing-masing :
- Maha Rsi Mpu Gni Jaya mulai
mengucapkan mantra sakti “ Aji Pengingkup Bhumi, Semerti Tattwa Padma Anglayang
“, dibarengi suara genta melengking-lengking tinggi digerakkan dengan prana
kundalini.
- Maha Rsi Mpu Semeru mengucapkan aji
japa mantra Aji Kinasihan, dibarengi Aji semerti Aji Anarawang “, diiringi
suara genta “ Sundari Tiga “, irama mpat pancer lima. Suara genta
melengking-lengking menghiris, menghanyutkan hati penuh dengan kasih sayang,
meredam hati orang yang sedang dipengaruhi oleh angkara murka.
- Maha Rsi Mpu Kuturan melepas japa
mantra “ Aji Nyusup, Sigar Bhuwana belah angkasa “, diirngi suara genta “
Pinalik Pitu “, getaran genta merasuk sukma, melepaskan urat saraf yang
mendengarkannya.
- Maha Rsi Mpu Gana ngeregep aji japa
mantra “Panca Bayu “ diperkuat dengan “ Tattwa Semerti Acintya Maya-Maya “,
diiringi suara genta “ Segara Gunung “, kekuatan genta menggetarkan bhumi dan
langit, merontokkan jantung orang yang tidak kuat batinnya.
- Maha Rsi Mpu Baradah melepas “ Aji
Jimat Sudamala “ diiringi oleh japa mantra “ Aji Ageniwerecana, Pasupatirancana
“, dengan diiringi suara genta “ Sanghyang Taya ”, suara genta
menghentak-hentak keras melengking, membuat suasana panas seperti api membara
membakar semua kekuatan ilmu hitam yang terutama kekuatan aji wegig, aji
siluman, aji panglekasan, aji wong samar. Dan semua pepasangan pengedeg atau
alat pepasangan yang bisa mempengaruhi orang menjadi tidak senang, dengki, iri
hati dan lain sebagainya.
Dengan
digelarnya aji mantram oleh Sang Panca Pandita, suasana semakin lama semakin
tegang, karena telah bereaksinya masing-masing kekuatan hitam dengan kekuatan
putih, Mula-mula datang angin rebut bertiup kencang menyebabkan daun pepohonan
berterbangan ke segala penjuru tidak beraturan. Sesekali Nampak petir di
angkasa menggelegar, kemudian bertiup angin kencang disertai hujan lebat
seperti tumpah dari langit. Tiba-tiba saja bertiup angin dingin seperti es,
dinginnya menusuk tulang. Tiba-tiba saja lberganti menjadi udara panas bertiup
kencang membakar kulit.
Itulah
permainan ilmu hitam yang sedang berhadapan dengan ilmu putih yang digelar oleh
Sang Panca Pandita. Kelihatan masing-masing tokoh memiliki ilmu yang seimbang
terbukti dengan serangan yang silih berganti, saling serang saling menangkis,
ditandai dengan suasana langit yang berubah-ubah, menurut tanda-tanda ilmu yang
dikeluarkan. Semakin malam suasana semakin seram. Tanda-tanda gambar awan
dilangit Nampak berubah-ubah dengan cepat sebagai pertanda para tokoh sakti itu
sedang mengadu kesaktian tingkat tinggi.
Membaca
tanda-tanda awan itu Mpu Gni Jaya yang sedang mengucapkan aji japa mantra “
Pengingkup Bhuwana dengan semerti Padma Anglayang “, cepat mengganti japa
mantra dengan melepas “ Aji Mas Putus “ didorong dengan aji japa mantra “
Sanghyang Kalis “, dihentakkan oleh suara genta pinarah pitu. Bukan main
hebatnya kekuatan magis dari mantra Mpu Gni Jaya, terbukti tidak lama kemudian,
mendung tebal yang menyelimuti bhumi Pejeng itu disertai hujan, tiba-tiba mulai
menipis kemudian hilang tertiup angin malam yang berhembus tajam.Sang Panca
Pandita boleh bernafas lega karena usahanya untuk menahan kekuatan ilmu hitam
yang ingin menggagalkan rencana pesamuan agung itu, telah berhasil dipatahkan.
Langit mulai terang, bintang-bintangpun telah Nampak diangkasa dengan sinarnya
yang berkerlipan. Tetapi ternyata suasana damai seperti itu tidak bertahan
lama. Tiba-tiba entah darimana awal datangnya, bertiuplah angin jahat
menghembuskan bau busuk seperti bau bangkai memenuhi seluruh ruangan sampai ke
pelosok desa. Bau yang menyengat busuk itu mengandung racun sehingga bagi
orang-orang yang tidak kuat menahannya, pasti muntah-muntah dan jatuh pingsan.
Suasana desa mulai panic, karena penduduknya yang tidak memiliki kemampuan
sudah banyak yang jatuh sakit.
Malam
itu sangat gelap gulita karena tidak ada lampu penerangan di jalan. Para dukun
yang memang telah memiliki ilmu pengobatan yang cukup tinggi, melaporkan hal
ini kepada Sang Panca Pandita, bahwa di desa-desa banyak orang yang jatuh sakit
dan sangat tiba-tiba tanpa sebab. Mereka muntah-muntah, kemudian pusing-pusing
dan jatuh pingsan. Para dukun atau balian itu mohon kepada Sang Panca Pandita
untuk memberikan obat penawar, karena para balian yang datang menghadap Sang
Panca Pandita itu, tahu bahwa itu bukan penyakit biasa.
Mendengar laporan dari
para balian yang datang seperti itu, Sang Mpu Baradah cepat mengeluarkan
jampi-jampi disertai dengan semangkok air suci, untuk diberikan kepada si
sakit. Para balian setelah mendapatkan penawar itu dengan tidak merasa takut
lagi, cepat-cepat pergi kerumah orang-orang yang sakit serta memberikan penawar
yang diberikan oleh Sang Mpu Baradah.
Mpu
Kuturan setelah melihat tanda-tanda di langit, terkejut luar biasa, bahwa
kekuatan ilmu hitam telah menguasai jagat raya. Awan Durga telah menutup
angkasa. Bintang-bintang lenyap ditelan kegelapan. Melihat suasana awan Mpu
Semeru telah dapat menerka bahwa kekuatan itu berasa dari aliran Bhairawa dan
dari aliran Siddhamantha. Hanya merekalah yang mempelajari ilmu itu. Dilihat
dari tanda-tanda yang Nampak, tidak salah lagi itulah ilmu yang di sebut “ Aji
Durga Murti Prawerti “. Ilmu itu hanya dimiliki oleh aliran Siddhantha dan
Bhairawa. Salah satu aliran yang memuliakan Dewi Durga dan Dewa Siwa.
Mpu
Gana juga telah menduga bahwa bau busuk yang menyebar kepelosok-pelosok desa,
sarana itu disebut “ Awu Maya-Maya “. Kalau orang menghirup bau itu perutnya
akan keracunan, Bagi yang kurang kuat menahannya, menyebabkan seseorang akan
muntah-muntah dan bisa sampai jatuh pingsan dan juga bisa menyebabkan kematian.
Melihat
suasana yang tidak menguntungkan itu, Maha Rsi Mpu Gni Jaya, meminta kepada Mpu
Semeru, Mpu Gana, Mpu Kuturan,dan Mpu Baradah untuk meningkatkan japa mantram
guna mengimbangi serangan ilmu hitam yang telah mampu menguasai ke pelosok
desa.
Untuk itu Sang Panca Pandita, masing-masing mengeluarkan kesaktiannya
yang paling diandalkan.
- Mpu Gni Jaya melepas “ Aji Mas Putus “
dengan suara genta “ Aji Sanghyang Kalis “.
- Mpu Semeru melepas “ Aji Cacupu Manik
“ dengan suara genta “Gedong Pinarah Pitu”.
- Mpu Gana melepas “ Aji Ukir Segara
Nunggal “ dengan suara genta “Gni Rahasya Sarira “, suaranya menghentak-hentak
memecahkan otak kepala.
- Mpu Kuturan melepas “ Aji Brahma
Utamaning Pingit “ dengan suara genta “Aji Pangenter “, suaranga melengking
tajam menusuk kuping, membuyarkan seluruh konsentrasi.
- Mpu Baradah melepas “ Aji Pengepet
Bhuta Dewa, Penundung Bhuta Kala Dengen, Pengembak Pementeng ” dengan suara genta
“ Brahma Murub “, suara genta melengking tidak beraturan, seperti suara
ceng-ceng mampu mengusir roh jahat keluar lari dari tempat-tempat
persembunyiannya. Brahma Murub berupa uap panas mengejar kekuatan jahat dan
membakar segala ilmunya. Demikian kekuatan japa mantra dari Mpu Baradah yang
sudah sangat kesohor di kerajaan Medang Kemulan.
Semakin malam suasana semakin
kelam mengerikan. Suara genta dari Sang Panca Pandita terdengar semakin
melengking-lengking tinggi mengangkasa menembeus awan tebal ilmu hitam yang
menutup langit. Sedangkan udara panas membara bertiup kencang menelusup masuk
ke segala penjuru mengusir kekuatan jahat yang digelar oleh orang-orang yang
beraliran aji ugig, yang berkelompok dengan aliran Bhairawa dan aliran sekta
Siddhanta. Tiba-tiba awan dilangit terlihat bergoncang hebat akibat pertempuran
ilmu hitan dan ilmu putih yang digelar oleh Sang Panca Pandita.
Bersamaan
dengan perubahan tanda-tanda diangkasa, bersamaan itu pula dipelataran rumah
penduduk, dijalan-jalan, dilorong-lorong berseliweran orang jadi-jadian
berteriak-teriak tidak tahan menahan panas yang membakar, seperti kena bara
api. Orang jadi-jadian itu lari tunggang langgang disebabkan oleh serangan
kekuatan batin Sang Panca Pandita, yang diucapkan dengan weda-weda sakti.
Akibatnya murid-murid dari Bhairawa dan Siddhanta yang ilmunya belum begitu
tinggi serta merta mereka mohon ampun, agar Sang Panca Pandita mau menghentikan
serangannya.
Sebaliknya Sang PAnca Pandita bukang menghentikan weda semertinya,
malahan beliau lebih meningkatkan getaran-getaran gentanya disertai doa suci
penjaya-jaya. Tiba-tiba seekor burung garuda berbulu emas datang menyambar Sang
Panca Pandita yang sedang memanjatkan doa. Bersamaan dengan itu seorang siluman
bertubuh besar tinggi hitam, berkuku panjang, bertaring, seluruh tubuhnya
berbulu lebat, mendekati Sang Panca Pandita untuk diterkam akan dimangsanya.
Itulah salah satu ilmu “ Aji Penglekasan” yang dimiliki oleh sekta aji wegig
dan Bhairawa, yang di sebut : “ Aji Siluman Durga Dewi dan Manuk Mas “. Ilmu
ini sangat sakti mantraguna.
Sang
Panca Pandita kaget luar biasa karena kedatangan sang raksasa dan raguda emas
begitu tiba-tiba dan sudah hampir mencakar tubuh beliau. Secepat kilat Sang
Panca Pandita melemparkan tongkat saktinya kearah bayang-bayang hitam itu, dan
aduuuuuuh…….. aduuuuh…… aduuuuh. Ternyata kelima buah tongkat Sang Panca
Pandita mengenai sasaran, mengemplang sang garuda emas siluman dan raksasa
siluman. Bayang-bayangan hitam ngacir berlari pergi dari hadapan Sang Panca
Pandita, sambil berteriak-teriak panjang menahan sakit. Bayang-bayang hitam
sudah pergi jauh tidak tahu entah kemana mereka lari.
Memang luar biasa
hebatnya tongkat sakti Sang Panca Pandita, karena memang tongkat itu bukanlah
sembarangan tongkat.
- Tongkat Mpu Gni Jaya mengandung Aji
Pemungkem Desti sakti mantraguna.
- Tongkat Mpu Semeru mengandung Aji
Pangisep Bayu.
- Tongkat Mpu Gana berisi Aji Penundung
Leak Agung.
- Tongkat Mpu Kuturan mengeluarkan Aji
Ageni Werecana.
- Tongkat Mpu Baradah mengeluarkan Aji
Brahma Mungguh.
Luar biasa kekuatan ajian Sang Panca
Pandita, terbukti cobaan yang paling hebat yang dilepaskan oleh raja siluman
itu mampu diusir oleh kekuatan mantram lima tongkat Sang Pandita. Apalagi
siluman yang kecil-kecil, seperti : bojog, bangkal, pitik bengil, kebo buduh,
da jadi-jadian lainnya sama sekali tidak berkutik, yang sebelumnya banyak
tingkah mengganggu orang-orang dijalanan, mengusik orang yang sedang tidur
dirumahnya. Kali ini sama sekali tidak berani menampakkan batang hidungnya.
Semuanya telah dibungkem oleh ajian mantram sakti Sang Panca Pandita.
Awan
di langit Nampak berubah-ubah cepat, kadang-kadang menipis, kemudian berganti
menebal, sebagai pertanda perang ilmu hitam sedang berlangsung. Luar biasa
hebatnya perang di malam itu. Bagi orang-orang yang memiliki keberanian cukup
mereka dapat menyaksikan tanda-tanda perang ilmu hitan dan ilmu putih yang di
tampilkan melalui tanda-tanda seperti sinar api, seperti kunang-kunang raja,
ada yang berupa kembang api, ada pula yang berupa bola-bola api hanya tidak ada
sinar biasnya.
Semakin
lama langit semakin cerah. Udara terasa semakin sejuk. Angin sejuk pegunungan
telah bertiup seperti biasa. Tanda-tanda itumenunjukkan bahwa kekuatan ilmu
hitam yang sempat mempengaruhi di malam pekat itu talah mampu diusir oleh
kekuatan Sang Panca Pandita yang memang sangat sakti. Tidak lama kemudian di
ufuk timur sudah mulai terang, pertanda sang surya akan menampakkan sinarnya.
Biasanya semua kekuatan gaib yang ada tidak akan mampu bereaksi karena sudah
dikalahkan oleh sinar surya yang menguasai seluruh alam semesta.
Sang
Panca Pandita sudah berhenti memanjatkan weda-weda semerti dan para pembantu
upacara seperti sang Pamegat sudah mulai membersihkan tempat persembahyangan di
pura kerajaan. demikianlah pada malam itu Sang Panca Pandita telah menyelesaikan
tugas penting, terutama sekali memohon kedamian dan ketenangan agar pesamuan
agung berjalan dengan baik dan lancar.
Hari
itu masih sangat pagi, apalagi menurut ukuran penduduk di Pejeng. Udara dingin
pegunungan yang bertiup pagi itu, membuat orang yag malas bangun semakin malas
saja. Maklum daerah dataran Pejeng masih merupakan satu rangkaian dengan
pegunungan Tampaksiring yang kesohor, yang daerahnya terbentuk atas lembah dan
bebukitan subur. Udaranya sangat sejuk, karena angin pegunungan hutan perawan.
Pemandangannya sangat luar biasa indah. Maka tidaklah keliru kalau daerah itu
selalu dipilih oleh orang-orang suci sebagai tempat pertapaan, terbukti di
daerah Pejeng ini banyak dijumpai tempat-tempat pertapaan yang sangat keramat.
Demikianlah
hari itu di balairung kerajaan Sang Maha Rsi Mpu Gni Jaya, Mpu Semeru, Mpu
Gana, Mpu Kuturan dan Mpu Baradah sudah berada disana, berbincang-bincang
dengan Sang Maha Raja Prabu Udayana Warmadewa. Pembicaraan sangat serius,
terlihat dari raut muka Sang Panca Pandita yang setiap penjelasannya disertai
kerutan kening yang mengandung tanda Tanya. Memang hari itu Sang Panca Pandita
melaporkan pengalaman beliau pada waktu di malam hari dimana beliau berlima
sedang memanjatkan doa memohon kehadapan Hyang Widdhi agar kerajaan dikaruniai
kedamaian dan rakyat diberkati kehidupan yang makmur, tenang dan tentram. Semua
kejadian dimalam hari itu diceritakan oleh Sang Panca Pandita lengkap dengan
segala kejadian-kejadian gaib yang mencoba menggagalkan segala tapa bratanya.
Beliau juga menjelaskan bahwa aliran sesat sangat jahat yang berusaha
menggagalkan segala rencana pesamuan agung yang hendak di selenggarakan, karena
disebabkan mereka dengan bermacam-macam cara berusaha untuk menggagalkan
rencana pesamuan.Tetapi
Sang Panca Pandita menjelaskan kepada Sang Maha Raja Prabu Udayana agar tidak
usah risau, karena beliau berlima sudah siap menghadapi kalau ada hal-hal yang
tidak diinginkan mungkin akan terjadi. Sang Panca Pandita juga menjelaskan
kejadian-kejadian gaib di malam itu secara rinci dan detail serta menjelaskan
dari mana sumber ajaran itu berasal. Juga beliau menjelaskan ilmu siluman yang
dianut oleh aliran tersebut, serta jenis ajian yang mampu menundukkan ilmu
siluman semacam itu. Berdasarkan pengalaman di malam hari itu Sang Panca
Pandita mampu menggambarkan peta kekuatan antara aliran hitam dan aliran putih
yang sedang berkumpul di kerajaan saap itu.
Sang
Maha Raja Prabu Udayana Warmadewa mendengarkan dengan seksama laporan
pengalaman dari Sang Panca Pandita, dengan sesekali mengkerutkan kening beliau
sebagai pertanda bahwa kekuatan aliran ilmu hitam tersebut tidak boleh
dipandang enteng. Dri uraian Sang Panca Pandita itu, Sang Prabu sudah dapat
menangkap dengan jelas, karena beliau seorang raja yang sangat sakti mantraguna.
Selain itu, beliau juga telah menguasai weda-weda, beliau juga sangat taat dan
bhakti kepada Hyang Widdhi Wasa, begitu pula beliau tidak pernah melupakan
bhakti kepada para leluhur dan kawitannya. Ajaran itupun beliau terapkan kepada
seluruh rakyatnya dan menganggap bahwa seluruh rakyat itu adalah bagian dari
keluarga beliau sendiri. Perilaku semacam itu menyebabkan beliau sangat
dihormati oleh rakyat dan rakyat benar-benar cinta kepada beliau.
Apapun
kejadian malam hari itu, sebenarnya beliaupun sudah mengetahuinya dengan jelas,
karena dengan diam-diam beliau juga melaksanakan tapa brata di tempat sucinya
tersendiri. Oleh karena itu beliau mampu membaca sebenarnya apakah yang terjadi
waktu di malam hari itu. Karena beliau sudah dapat memperkirakan kejadian di
malam itu, maka beliau meminta kepada Sang Panca Pandita untuk meningkatkan
kewaspadaan, agar semua rencana di dalam pesamuan agung nanti bisa berjalan
tanpa adanya halangan. Dan Sang Maha Raja juga berpesan kepada Sang Panca
Pandita agar beliau bisa berlaku adil, sehingga mampu menciptakan kedamaian dan
ketentraman demi untuk kehidupan rakyat. Demikian pertemuan itu berlangsung
antara Sang Panca Pandita dengan Maha Raja Prabu Udayana Warmadewa.
Ditempat
lain dimana berlangsungnya pesamuan agung, sudah ramai dipenuhi oleh peserta
undangan dari semua aliran yang ada di Bali. Disana Nampak sebuah bangunan
besar dilengkapi dengan sebuah pendopo, dihias dengan dekorasi warna-warni,
dengan sebuah kursi agung diapit oleh payung dan lelontekan berukir sangat
indah, dilapisi emas murni berukir. Itu merupakan singgasana Maha Raja Prabu
Udayana. Disampinya dengan posisi yang lebih rendah terdapat sepasang kursi
yang juga cukup indan, itu diperuntukkan untuk sang perdana mentri. Kemudian
disamping kanan dan kiri beliau juga ada beberapa buah kursi lagi yang
diperuntukkan untuk Sang Panca Pandita. Semuanya di hias dengan indah, tidak
lupa pula tetabuhan gambelan diperuntukkan untuk menyambut kehadiran Sang Maha
Raja. Selain tempat yang indah juga telah disediakan hidangan untuk para
undangan.
Tidak
lama kemudian Sang Maha Raja sudah memasuki pintu gerbang pesamuan agung, semua
menyambut menghormati sambil menundukkan kepala dalam-dalam. Sang Maha Raja
menuju ruangan pendopo kearah kursi kebesaran dimana Sang Maha Raja akan duduk
sebagai pemimpin siding. Para hadirin yang lain pun masing-masing menempati
tempat duduk yang telah disediakan oleh panitia pesamuan sesuai dengan jabatan
para peserta. Upacara penyambutan Raja selesai ditandai dengan Sang Maha Raja sudah
menduduki singgasananya, yang diikuti oleh seluruh peserta, juga telah duduk di
tempat masing-masing.
Suasana
sepi, tidak ada suara apapun yang terdengar. Para peserta duduk rapi. Yang
pasti dari mereka semuanya membungkam, tak layaknya seperti terbius, karena
terpengaruh oleh kebesaran wibawa Sang Maha Raja Prabu Udayana. Pada hari itu
tidak tampak suatu tanda-tanda yang mengkhawatirkan, seperti apa yang diduga
sebelumnya, Berdasarkan pengalaman pada malam hari, diperkirakan pasti ada
hal-hal yang tidak baik akan terjadi. Tidak ada tampak tanda-tanda dari aliran
sesat yang berani berbuat macam-macam di dalam pesamuan agung itu.
Memang
pada waktu itu suasana tampak sangat bergairah tak ada kecemasan sama sekali.
Tetapi perlu juga diketahui bahwa dengan pengalaman hebat di malam hari itu,
Sang Panca Pandita tidak mau kecolongan lagi. Pagi-pagi sekali sebelum beliau
berangkat mengiringi Sang Maha Raja ke ruang pesamuan agung, beliau berlima
sudah memanjatkan aji japa mantra ”Pemungkah Bhumi, Sundari Anglayang,
Pengasih-pengasih Hyang, Pemungkem Bhuta Dewa, Aji Acintya Ngadeg“. Kekuatan
japa mantra itu luar biasa, panugrahan Bhatara Brahma ngeseng segalaning aji
wegig. Ternyata benar, terbukti haru itu tidak ada seorangpun dari peserta ada
yang berani macam-macam, terutama dari aliran sesat.
Dalam keadaan hening, sepi
itu, salah seorang dari sang Dharmadyaksa kerajaan , memecah kesunyian dengan
ucapan panganjali, ditujukan kepada Sang Maha Raja, kepada Sang Panca Pandita
dan para pemimpin sekta-sekta, kemudian kepada semua hadirin. Sang Dharmadyaksa
dalam awal kata sambutannya, menguraikan secara singkat maksud dan tujuan
diadakan pesamuan agung keagamaan ini, yang tidak lain ingin meningkatkan lagi
kesadaran beragama yang sekarang sudah baik, guna bisa mencapai lebih baik
lagi.
Kemudian
setelah prakata panganjali diucapkan, Sang Dharmadyaksa atau Bhagawanta
kerajaan mempersilahkan kepada Sang Maha Raja Prabu Udayana Warmadewa untuk
memberikan wacana kepada seluruh peserta pesamuan agung sebagai pembekalan di
dalam perundingan nanti.
Sang
Maha Raja Prabu Udayana Warmadewa didalam kesempatan ini meminta kepada seluruh
hadirin baik para pemimpin sekta, agar menyadari bahwa kita ini semuanya adalah
satu keluarga, anak-anakku, adik-adikku, paman-pamanku. Oleh karena itu aku
berpesan hiduplah dengan rukun, hiduplah berbahagia dan dekatkan diri
masing-masing kepada Hyang Widdhi, karena beliaulah Sang Pencipta. Beliaulah
yang menjadikan kita semua. Oleh karena itu jalankanlah perintah-perinhNYA
dengan baik dan jujur agar kita semua mendapatkan pahala yang baik pula. Dalam
kesempatan itu Sang Maha Raja tidak banyak berbicara, kemudian beliau
memperkenalkan Sang Panca Pandita kepada para hadirin sebagai petugas kerajaan
yang akan bertanggung jawab atas kelancaran jalannya pesamuan agung itu.
Pada
akhir wacananya beliau meminta kepada seluruh peserta pesamuan agar mrmbantu
Sang Panca Pandita dalam segala hal agar pesamuan cepat rampung dan
menghasilkan karya-karya terbaik demi untuk kebaikan kita bersama dan demi
untuk generasi yang akan datang, sehingga generasi kita kelak tidak menyalahkan
kita sebagai orang tua mewariskan sesuatu yang tidak baik kepadanya.
Sang
Panca Pandita setelah diperkenalkan oleh Maha Raja segera menjura kepada
seluruh hadirin, serta menerima mandate dari Sang Maha Raja berupa seikat
naskah dari daun lontar untuk dibahas bersama-sama dengan seluruh peserta
pesamuan agung. Demikianlah Sang Maha Raja Prabu Udayana Warmadewa secara
singkat membuka pesamuan agung itu dengan penuh wibawa. Selanjutnya Maha Raja
Prabu Udayana Warmadewa meninggalkan ruang pesamuan agung diiringi oleh para
prajurit dan tanda mantri kembali kekerajaan. Suara gambelan kembali terdengar
untuk mengiringi langkah Sang Maha Raja.
Sepeninggal Sang Maha Raja Prabu
Udayana Warmadewa, pimpinan siding pesamuan ditangani oleh Sang Panca Pandita
dan Mpu Kuturan bertindak sebagai pimpinan siding didampingi oleh Mpu Gni Jaya,
Mpu Semeru, Mpu Gana dan Mpu Baradah. Setelah
Sang Maha Raja Udayana Warmadewa telah menyerahkan mandate pesamuan agung kepada
Sang Panca Pandita, lalu Mpu Kuturan yang bertindak sebagai tetua pesamuan
agung, beliau mulai membuka pesamuan agung para sekta dengan ucapan panganjali
dan mengajak para peserta untuk bersama-sama memanjatkan doa, memohon kepada
Hyang Widdhi agar semua yang kita cita-citakan bisa berhasil dengan baik dan
rahayu.
Mpu Kuturan memohon maaf kepada tetua sekta-sekta yang ada di Bali,
bahwa tugas yang diembannya ini adalah sangat berat sekali. Disamping itu
mengingat begitu luasnya ajaran agama itu, sudah pasti banyak hal-hal yang
mungkin kami tidak pahami. Oleh karena itu demi lancarnya pesamuan agung ini,
atas nama baginda Sang Maha Raja, kami mohon agar para tetua bisa memberikan
petunjuk-petunjuk yang baik agar kita bisa menemukan kebenaran yang benar untuk
kepentingan kita bersama pula.
Demikianlah
Mpu Kuturan, dengan suara panjang lebar menyampaikan penjelasan tentang tujuan
pesamuan agung para tokoh-tokoh sekta di Bali. Kemudian untuk memperlancar
pertemuan itu, lalu beliau meminta kepada peserta pesamuan agung agar
masing-masing bahan-bahan ajaran yang diajarkan di masing-masing sekta termasuk
weda-weda yang mendasar serta tata cara pelaksanaannya. Sedangkan dari Sang
Panca Pandita menyerahkan beberapa halaman pustaka hasil rumusan beliau dimana
sebelumnya beliau telah dapat meneliti dasar-dasar ajaran semua sekta yang ada
di Bali waktu itu.
Kemudian
pesamuan agung berjalan sangat tenang, tidak ada seorangpun yang mengajukan
usulan-usulan, seolah-olah apa yang dijelaskan oleh Mpu Kuturan sebagai pimpinan
pesamuan agung sudah jelas dan semua dapat memahaminya. Demikianlah pada hari
itu pertemuan para tokoh sekta berjalan lancer dan disudahi dengan panganjali,
memohon kehadapan Hyang Widdhi, agar beliau selalu menyinari, memberikan akal
sehat dan kecerdasan.
Pesamuan
agung berikutnya berjalan terus sesuai dengan rencana. Tidak dijelaskan entah
sudah berapa hari pesamuan agung itu berlangsung, yang jela pada hari-hari
pembahasan pustaka masing-masing aliran banyak sekali benturan-benturan yang
terjadi, disebabkan karena perbedaan materi dan perbedaan pemahaman
masing-masing ajaran. Bagi sekta Bhairawa yang merasa dasar-dasar ajarannya
tersudutkan karena banyak mengandung pemahaman-pemahaman yang negatif, tidak
segan-segan memperlihatkan keangkuhannya, sampai-sampai timbul ketegangan dari
aliran lainnya yang merasa apa yang diajarkan oleh “ Newerti “ yang menjadi
dasar-dasar ajarannya dikaji dari ajaran wedanta, jelas-jelas bertplak
belakang.
Seperti antara lain: ajaran aji wegig, suka menyakiti orang dengan ilmu
hitam, ajaran ilmu siluman yang sering dimanfaatkan untuk kepentingan yang
tidak baik, ajaran kurban suci dengan memanfaatkan sarana yang sudah busuk,
guna mengundang roh-roh jahat. Mengajarkan ilmu sesirep untuk kepentingan
berbuat jahat, mengajarkan ilmu pengelantih untuk guna-guna, mengajarkan ilmu
membuat cetik atau racun untuk mencelakan orang lain dan masih banyak jenis
ajaran-ajaran yang terlarang bagi penganut ajaran ketuhanan yang tertuang di
dalam weda-weda.
Waktu
itu sekta Siddhanta pun mendapat kritik tajam dari sekta lainnya, seperti sekta
Brahma, Sekta Waisnawa, Sekta Mahayana, Sekta Pasupatya, Sekta Ganapatiya dan
banyal sekta-sekta lain yang kurang sepaham dengan ajaran Siddhanta, yang
sering pengikut-pengikutnya melakukan hal-hal yang terlarang oleh ajaran
wedanta dan lebih sering ke kiri mengikuti Sekta Bhairawa. Hal itu tidaklah
aneh karena Sekta Siddhanta memuliakan Dewa Siwa sebagai manefestasinya Hyang
Widdhi. Sedangkan Sekta Bhairawa memuliakan Dewi Durga sebagai manefestasinya
Hyang Widdhi. Sedangkan kedekatan ajaran aliran Siddhanta dengan aliran
Bhairawa, karena Dewa Siwa yang meenjadi Dewa aliran Siddhanta adalah suami
dari Dewi Durga yang dijadikan junjungan oleh aliran Bhairawa.
Oleh karena itu
tidaklah aneh kalau kedekatan sekta-sekta itu ada benarnya. Sebagai contoh
bahwa penganut sekta itu lebih sering memanfaatkan weda-weda yang berbau
mistik, seperti weda “ Pengereb Bhuwana “ untuk membuat orang agar takut dan
banyak lagi jenis mantram yang berbau mistik dipergunakan oleh aliran ini. Perdebatan
ilmu hitampun terjadi di dalam pesamuan agung itu, karena masing-masing dari
mereka ingin menunjutkan bahwa aliran yang mereka anut tidak ada yang salah.
Kritik mengkritik, salah menyalahkan terjadi di dalam pesamuan agung itu,
karena masing-masing merasa benar menurut pahamnya sendiri. Tidak jarang di
dalam acara pesamuan itu terjadi perdebatan sangat sengit karena masing-masing
membela diri.
Kadang-kadang t erjadi p[ersaingan ilmu hitam di arena itu,
karena masing-masing sudah dimakan emosi. Luar biasa ramainya perdebatan itu,
sangat menarik dan juga mengerikan. Mpu
Kuturan sebagai pemimpin pesamuan agung membiarkan saja masing-masing
menyampaikan pendapatnya dan masing-masing memperlihatkan kemampuannya untukmembuktikan
bahwa apa yang dianutnya tidak ada yang salah. Dari hasil perdebatan dan kritik
itu pahamlah Sang Panca Pandita bahwa di Bali memang ada perselisihan aliran
disebabkan kurangnya pemahaman terhadap ajaran masing-masing. Memetik dari
pengalaman itu Sang Panca Pandita yang sangat arif dan bijaksana itu dengan
cerdas sudah dapat menilaio sebenarnya apa yang diinginkan oleh mereka
masing-masing.
Demikianlah pesamuan agung hari itu juga telah berakhir dengan
belum menghasilkan apa-apa. Pesamuan terus berkelanjutan hanya tidak dijelaskan
sudah berapa kali pesamuan telah terselenggara, maka pertemuan akhirpun datang
juga dengan menghasilkan rumusan-rumusan yang sangat cemerlang yang dapat
diterima oleh masing-masing aliran sekta-sekta yang hadir.
Hari
itu adalah hari terakhir dari pertemuan para sekta-sekta yang ada di Bali. Sang
Panca Pandita sebagai pemegang mandat dari Maha Raja Prabu Udayana Warmadewa
sudah berada di pendopo pesamuan lengkap dengan pustaka-pustaka lontar hasil
rumusan dari materi-materi pesamuan agung. Ruangan pesamuan agungpun sudah
dipenuhi oleh para peserta pesamuan. Para Sang Pemegat yaitu pembantu-pembantu
upacara sudah siap dengan segala sesuatunya.
Begitu
pula seluruh para Dharmadyaksa sudah menempati tempat masing-masing, lengkap
dengan sarana yang telah disiapkan. Sang Maha Rsi Mpu Kuturan mengawali
pertemuan itu dengan panganjali seraya mengucapkan puji syukur bahwa pesamuan
agung berjalan dengan baik dan sangat tertib. Walaupun di dalam
perbincangan-perbincangan itu ada sedikit perbedaan pendapat, hal seperti itu
sudah biasa terjadi, yang terpenting kita memiliki etikad yang baik. Atas dasar
buah piker dari semua pihak maka kita akan menghasilkan sesuatu yang baik dan
baik untuk kita semua.
Sebagai hasil jerih payah kita semua, kami sudah mencoba
merumuskannya sesuai dengan sumber ajaran masing-masing . Disanalah Mpu Kuturan
menguraikan secara panjang lebar tentang manfaat dari suatu ajaran agama,
selain memahami etika dan budi pekerti sebagai dasar-dasar kehidupan manusia.
Beliau menguraikan juga prinsip dasar dari masing-masing ajaran sekta itu serta
menunjukkan perbedaan-perbedaan selain persamaan-persamaan yang dikandung oleh
masing-masing ajran. Yayur Weda, Regweda, Samaweda dan Atarwaweda semuanya
dijelaskan di dalam pesamuan agung itu yang masing-masing mendengarkan dengan
seksama.
Pengertian tentang kesusastraan yang
mendasari setiap aliran juga dibahas dengan sangat rinci, seperti antara lain :
• Pemurtining Aksara, Aksara Dasa
Aksara, Aksara Pancaksara, Aksara Panca Brahma, Catur Aksara, asal usul Tri
Aksara, Aksara Rwabhineda tanpa sastra, Pamurtining aksara. Semua itu
dibicarakan bersama sehingga semua dari pengikut masing-masing aliran dpat
memahami.
• Kemudian dibahas pula tentang
simbul-simbul yang biasa dipakai oleh para bhaktanya untuk mengadakan pemujaan.
Simbul-simbul itumeliputi nama-nama Dewa yang disembah dan arcaperwujudannya.
Warna-warna yang dipakai di dalam penghayatan untuk penghayatan Hyang Widdhi.
• Kemudian membahas tentang arah
pemujaan, dimana para bhakta atau penyembah memuliakan Dewa pujaannya sebagai
manefestasi Hyang Widdhi, lengkap dengan simbul-simbul yang dipakai pada saat
pemujaan itu. juga dijelaskan tentang kekuatan apa yang mempengaruhinya.
• Begitu pula jenis-jenis sesajen apa
saja yang harus dipersembahkan dan apa nama air suci yang diterima dari
masing-masing pemujaan. Weda-weda pujaan pun juga harus dirumuskan sesuai
dengan masing-masing ajaran sehingga semuanya bisa menerimanya. Itulah sebabnya
akhirnya banyak kurban suci karena tuntutan dari masing-masing sekta.
• Di dalam rumusan ajaran itu, selain
ajaran kurban suci tercipta, juga tempat-tempat dimana masing-masing memujanya,
juga dirumuskan tentang weda-weda yang wajib dipanjatkan pada saat diadakan
upacara-upacara yang dimaksud.
• Maka turunlah ajaran-ajaran tentang
tuntunan kurban-kurban suci seperti : upacara Dewa Yadnya, yang menguraikan
tentang tatacara melaksanakan upacara yang ditujukan kehadapan Tuhan Yang Maha
Esa atau Hyang Widdhi. Upacara Pitra Yadnya, yaitu menjelaskan tentang tatacara
melaksanakan upacara yang ditujukan kepada roh leluhur atau upacara untuk Sang
Pitara atau Sang Atman manusia.
Upacara manusa Yadnya, yaitu upacara tentang
tatacara menyelenggarakan upacara untuk manusia, dari sejak dalam kandungan
sampai lahir, akil balik, potong gigi dan perkawinan, yang pustaka ajaran
tersebut disebut pustaka Nitiyakarma. Upacara Bhuta Yadnya, yaitu mengajarkan
tentang tatacara melaksanakan upacara yang ditujukan kepada Sang Panca Maha
Bhuta, untuk menjaga kelestarian alam semesta, meliputi kurban suci eka sata,
panca sata, manca wali krama. Banyak sekali rumusan-rumusan yang dihasilkan di
dalam pesamuan agung tersebut, baik mengenai etika beragama, maupun susila yang
akan menjadi pegangan hidup di dalam masyarakat agar dapat hidup selaras dan seimbang
dengan lingkungan.
Untuk lebih jelas ajaran apakah yang
diturunkan secara nyata di masyarakat dan bukti-bukti apakah yang masih bisa
kita saksikan dewasa ini, bahwa peristiwa pesamuan agung itu benar-benar pernah
terjadi di masa lalu?
Tetapi
dari sekian banyak peristiwa yang dihasilkan di dalam pesamuan agung di Pejeng
itu, yang paling penting adalah keberhasilan para tokoh sekta yang menyatukan
semua aliran yang ada menjadi satu, yaitu memuja Hyang Widdhi melalui tiga
unsur kekuatan. Tiga dasar kekuatan itu adalah ; Dewa Brahma, Dewa Wisnu dan
dewa Iswara. Semuanya yakin bahwa kehidupan ini bersumber dari api, air, angin.
Semua yang ada diciptakan oleh Hyang Widdhi melalui sumber panas, yang dalam
perwujudannya disimbulkan Dewa Api disebut dengan istilah atau nama Dewa
Brahma. Setelah yang terciptakan itu ada maka Hyang Widdhi menciptakan pula
Sang Pemelihara agar ciptaannya bisa hidup dan berkembang sesuai dengan
kodratnya. tugas pemelihara ciptaannya itu disebut Dewa Wisnu atau Dewa Air,
yang akan memberikan kehidupan kepada seluruh ciptaannya.
Setelah
ada kehidupan akan ada pula kematian, dimana semua yang pernah ada akan kembali
lagi kepada tidak ada. Proses seperti ini disebut Pralina atau hancur dan
kembali kepada asalnya usulnya. Di dalam siklus ini dilambangkan dengan Dewa
Iswara atau Dewa Siwah. Siwah artinya kosong atau windu atau nol, yang artinya
Tuhan Yang Maha Esa. Banyak lagi macam sebutan Hyang Widdhi, sesuai dengan
kehendak para bhakta menyebutkannya.
Tetapi walaupun demikian sebenarnya Tuhan
itu hanya satu. Orang-oranglah yang menyebutnya dengan bermacam-macam nama atau
simbul-simbul, sesuai dengan tugas-tugasNYA pada saat itu. Akibatnya lahirlah
banyak simbul-simbul untuk melambangkan Hyang Widdhi dan lahir pulalah banyak
nama untuk memberikan arti sebuah simbul.
Untuk
memudahkan para pengikut agama masing-masing menghayatinya, maka bersamaan itu
akan turun juga ajaran yang disebut “ Panca Sraddha “ yang isinya suatu ajaran
untuk percaya kepada lima ajaran dasar guna dapat memahami tentang keberadaan
Tuhan Yang Maha Esa atau Hyang Widdhi.
Adapun lima inti dari ajaran Panca
Sraddha itu meliputi :
- Percaya akan keberadaan Hyang Widdhi.
- Percaya akan adanya Sang Atman.
- Percaya akan adanya Punarbhawa.
- Percaya akan adanya Karmapala.
- Percaya akan adanya Moksah.
Guna mencapai itu maka akan diturunkan
ajaran-ajaran berupa sesana atau tuntunan, misalnya suatu petunjuk-petunjuk
dari masing-masing pengajaran itu, pada umumnya akan dirangkum di dalam suatu
ajaran yang pustakanya di sebut Purana. Misalnya, Raja Purana, Rsi Sesana,
Putra Sesana, Rsi Purana atau Brahmana Purana dan lain sebagainya.
Yang paling menarik untuk disimak ialah
di dalam pesamuan agung di Pejeng itu telah berhasil dirumuskan satu rumusan
besar dari ajaran dan tuntunan beragama yang telah menjadi keputusan pesamuan
agung ialah :
- Mengakui ajaran Tri Murti sebagai
salah satu paham untuk memuja Hyang Widdhi atau Tuhan Yang Maha esa.
- Percaya bahwa Dewa Brahma, Dewa Wisnu,
Dewa Iswara atau Dewa Siwa adalahmanefestasi Hyang Widdhi.
- Percaya bahwa ajaran Panca Sraddha
merupakan pati sari ajaran weda sebagai dasar ajaran agama.
Dengan
telah diputuskannya bahwa ajaran Tri Murti itu adalah yang diakui oleh seluruh
aliran sekta-sekta yang ada, maka disepakatilah mulai saat itu paham ajaran Tri
Murti itu diabadikan di Pura Besakih, yaitu sebuah pura yang terletak di kaki
Gunung Agung. Di pura Besakih inilah Sang Panca Pandita mengabadikan ajaran Tri
Murti itu dengan mendirikan tiga buah pura besar yang masing-masing berfungsi
sebagai penghayatan dari ketiga paham itu.
Di sebelah kiri dari pintu gerbang
di bangun sebuah pura untuk penghayatan Dewa Wisnu dilengkapi dengan
simbul-simbul warna berwarna hitam sebagai ciri berstananya Hyang Widdhi dalam
wujudnya sebagai Dewa Wisnu yaitu Dewa Pemelihara. Di sebelah kanan dari pintu
gerbang utama dibangun sebuah bangunan untuk penghayatan Dewa Brahma, sebagai
manefestasi Hyang Widdhi sebagai Dewa Pencipta. Di tengah-tengah atau pada
bangunan utama didirikan bangunan berupa Padma Tiga, tempat memuliakan Hyang
Widdhi sebagai Bhatara Tri Murti, yaitu, Brahma Wisnu dan Iswara.
Selanjutnya
untuk memudahkan penghayatan dan bhakti kepada Hyang Widdhi, Mpu Kuturan juga
memerintahkan untuk masing-masing desa membangun tempat suci sebagai
penghayatan Tri Murti yang ada di Besakih, yang di sebut Pura Desa yaitu tempat
memuja Hyang Widdhi dalam manefestasi sebagai Dewa Brahma. Sebuah bangunan lagi
yang disebut Pura Puseh, tempat memuja Hyang Widdhi dalam manefestasinya
sebagai Dewa Wisnu. Sebuah bangunan lagi untuk memuja Dewa Iswara atau Dewa
Siwa. Bangunan Pura ini di sebut dengan Pura Dalem.
Selanjutnya
bagi orang-orang yang sudah berumah tangga atau sudah mampu mandiri dianjurkan
untuk membuat sebuah penghayatan suci yang di sebut Mrajan atau Sanggar atau
Sanggah. Didalamnya harus ada sebuah bangunan berruang tiga yang disebut
Kemulan. Demikian ajaran Pustaka Tri Murti diturunkan kepada semua umat agar
lebih memudahkan menghayati Hyang Widdhi.
Untuk
memberikan tuntunan yang pasti dan benar, Sang Panca Pandita dengan dibantu
para tokoh sekta-sekta, disusunlah pustaka suci di sebut “ Amura Bhumi Kemulan
“, mengajarkan tentang tatacara orang membuat bangunan Mrajan atar Sanggah,
lengkap dengan pedagingan atau pependemannya. Juga diturunkan ajaran sebagai pegangan
bagi semua bhakta agar memiliki pemahaman yang sama melaksanakan bhakti kepada
Hyang Widdhi. Adapun tuntunan dari ajaran tersebut antara lain :
- Adi Gama yang menguraikan tentang
kemuliaan ajaran agama agar manusia dapat memahami tentang arti kehidupan
dialam semesta dan mengerti tentang kehidupan setelah meninggal.
- Aji Ananda Bhuwana yang menguraikan
tentang tatacara membuat bangunan Meru atau bangunan suci.
- Disamping itu juga diturunkan ajaran
Ananda Marga, Aji Catur Wanasari atau ajaran tentang membuat Padmasana, Aji
Catur Widdhi, Aji Deawa Tattwa, Aji Dharmaning Putus, Aji Luwih, Aji
Kedyatmikan, Aji Japa Mantra, Aji Kusuma Dewa, Aji Madya Muter, Aji Maitika
Karma, Aji
Pamerascitan yang mengajarkan tentang mensucikan manusia dari semua cobaan
hidup.
Dan masih banyak lagi ajaran-ajaran suci yang diturunkan oleh Sang Panca
Pandita, sehingga mulai saat itu semua tatacara yang berhubungan dengan upacara
agama harus menuruti ajaran-ajaran yang telah diterapkan dan telah diakui
kebenarannya oleh semua aliran yang ada.
Demikianlah
akhirnya tempat dimana pesamuan agung itu diselenggarakan, selanjutnya desa itu
di sebut Desa Samuan Tiga, yang artinya bahwa di desa itulah tempat diadakannya
pesamuan agung itu dan yang telah berhasil melahirkan ajaran paham agama Tri
Murti, yang telah diakui kebenarannya oleh seluruh sekta-sekta yang ada di
Bali.
Dalam
kesempatan itu Sang Maha Raja Prabu Udayana Warmadewa menurunkan sebuah
prasasti yang sangat terkenal di sebut “ Prasasti Samuan Tiga “. Setelah itu
maka terteblah Bali Dwipa, semua aliran telah menjadi satu dan berpusat di
Besakih serta mengakui bahwa Pura Besakih adalah Pura Agung satu-satunya yang
diaci oleh seluruh umat.
Dari
sejak itu Pura Besakih semakin ramai dikunjungi oleh semua umat, dengan tanpa
menyebutkan lagi dari aliran mana mereka berasal. Disamping itu sesuai dengan
petunjuk-petunjuk Sang Panca Pandita, dari sejak itu seluruh umat yang ada di
Bali Dwipa mulai membangun kahyangan Tiga, yaitu : Pura Puseh, Pura Desa dan
Pura Dalem, serta masing-masing membangun tempat suci di setiap pamahan dan
bangunan suci itu disebut Mrajan atau Sanggah.
Tidak dijelaskan betapa ramainya
seluruh penduduk membangun menata desanya masing-masing, berpegang kepada
tatacara bangunan yang telah dirumuskan oleh Sang Panca Pandita yang belakangan
teori rancangan bangunan itu sangat terkenal dengan sebutan istilah “Kosala
Kosali“ atau ilmu arsitektur.
Keberhasilan
gerakan membangun Pura Tri Murti di Besakih dan juga Tri Murti di setiap desa,
hal itu tidak terlepas dari perintah Sang Maha Raja Prabu Udayana Warmadewa,
agar seluruh rakyat melaksanakan tugas-tugas itu serta mulai saat itu pula
seluruh rakyat hanya boleh mempelajari ajaran ketuhanan melalui
petunjuk-petunjuk ajaran pustaka Tri Murti, baik tatacara mempelajari weda
maupun melaksanakan kurban-kurban suci agar selalu mengacu kepada ajaran
pustaka Tri Murti.
Maka
tercatatlah “ Sasih Ke Dasa 923 saka atau Bulan April tahun 1001 masehi “
merupakan bulan dan tahun bersejarah lahirnya ajaran Tri Murti di Bali dan
tahun mulai berdirinya Pura Samuan Tiga, yang merupakan Pura Tertua di zaman
itu yang terletak di Desa Pejeng. Demikianlah asal usul lahirnya Tri Murti yang
akan menjadi dasar-dasar ajaran agama di Bali untuk selanjutnya.
Dengan
telah ditetapkannya Pura Samuan Tiga sebagai tempat lahirnya ajaran Tri Murti
itu, maka Sang Prabu Udayana Warmadewa juga menetapkan Pura Samuan Tiga sebagai
Pesraman Agung tempat seluruh sekta-sekta di Bali untuk mendiskusikan segala
sesuatu yangberhubungan dengan masalah-masalah rohani.
Pada hari-hari tertentu
Sang Maha Raja mewajibkan para sekta beserta seluruh pengikutnya untuk datang
ke pesraman agung guna memperdalam ajaran rohani yang benar dan pasti agar
seluruh umat dari manapun mereka berasal tetap mengacu kepada ajaran Tri Murti
yang menjadi dasar dari seluruh ajran-ajaran yang ada. Sang Maha Raja Udayana
Warmadewa sebagai pengayom Pasraman Agung itu memperlakukan semua peserta
pesraman dengan adil dan baik, karena pada hakekatnya semua mereka itu adalah
rakyatnya.
Dengan demikian lama kelamaan masing-masing telah larut di dalam
ajaran Tri Murti, sehingga tanda-tanda dari sekta-sekta yang pernah ada yang
masing-masing pernah bermusuhan, sudah tidak ada lagi terlihat perbedaannya.
Guna menjaga kelestarian ajaran Tri
Murti itu lalu Sang Maha Raja mengangkat Sang Panca Pandita menjadi Maha Guru
Kerajaan di bantu oleh Dharmadyaksa yang berasal dari masing-masing sekta, yang
lama kelamaan semuanya akan membaur menjadi satu. Setelah keadaan mulai tertib
Sang Panca Pandita itu masing-masing dibuatka pesraman, seperti antara lain :
- Mpu Gni Jaya berpasraman di Lempuyang
Madya.
- Mpu Semeru berpasraman di Pura
Besakih.
- Mpu Gana Berpesraman di Dasar Gelgel.
- Mpu Kuturan berpasraman di Padang Bay
dan pesraman beliau di sebut Pesraman Silayukti.
- Sedangkan Mpu Baradah kembali ke Jawa
ke kerajaan Medang Kemulan menjadi Bhagawanta kerajaan.
Demikian
peristiwa yang sangat bersejarah itu terjadi, yang akan memberi warna kehidupan
rakyat Bali Dwipa selanjutnya, terutama sekali tentang perkembangan agama di
Bali dari tahun ke tahun, terbukti sampai saat ini ajaran-ajaran beliau masih
berkembang dan dianut oleh rakyat. Yang lebih menarik untuk disimak adalah mengenai
perjalanan Sang Panca Pandita setelah beliau selesai melaksanakan
tugas-tugasnya di kerajaan dan masing-masing sudah memiliki pesraman.
Setelah
pesamuan agung sekta-sekta di kerajaan Pejeng selesai, maka Sang Maha Prabu
Udayana Warmadewa mengangkat Sang Catur Maha Rsi yaitu : Maha Rsi Mpu Gni Jaya,
Maha Rsi Mpu Semeru, Maha Rsi Mpu Gana dan Maha Rsi Mpu Kuturan menjadi pejabat
tinggi di bidang kerohanian dan masing-masing diberikan pesraman.
Sedangkan
Mpu Kuturan disamping diangkat menjadi Bhagawanta Kerajaan, beliau juga
diangkat menjadi Hakim Agung dengan gelar Raja Kerta. Beliau dibantu oleh
banyak hakim lagi terdiri dari pendeta Buddha yang bergelar Dharmadyaksa
Kasogatan dan dari pendeta Wainawa, pendeta Brahma, pendeta Siwa yang bergelar
Dharmadyaksa Kasiwan.
Semua pendeta-pendeta yang diangkat menjadi jaksa yang
akan membantu Mpu Kuturan yang sudah bergelar Raja Kerta, mereka-mereka itu
yang bertindak sebagai pembantu Raja Kerta diberi gelar dengan sebutan Pedanda
Kerta. Pedanda Kerta artinya : Pedanda berasal dari kata danda dengan kata
depan PeDanda artinya denda atau hukuman.
Pedanda artinya menghukum atau tukang hukum. Kerta artinya damai.
Pedanda Kerta
artinya Pejabat tukang menghukum untuk kedamaian. Istilah Pedanda bukan berarti
pendeta yang biasa muput karya. Sedangkan beliau yang biasa muput karya di
sebut Pendeta. Pendeta artinya orang yang telah didiksa menjadi seorang suci
atau di sebut juga Sang Brahmana. Sedangkan Pedanda bukan Brahmana, melainkan
seorang pejabat yang berkedudukan sebagai jaksa atau hakim. Sedangkan hakim
agung atau jaksa agung di dalam struktur pemerintahan raja-raja di zaman dahulu
itu di sebut Raja Kerta
Semoga kebahagiaan dan kedamaian hati
selalu menyertai kehidupanmu selamanya.
Astungkara.
TAMAT
Post a Comment